Charles Gigir Anidlah |
Tanggal 26 September 2017, insan statistik akan merayakan hari jadi statistik ke-21. Statistik dalam bentuk kelembagaan, sebenarnya sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Waktu itu namanya Volkstelling Ordonnantie yang telah ada sejak tahun 1930.
Nama statistik sendiri melekat dengan kalimat “Sensus dan statistik”, sesuai Undang Undang Nomor 6 Tahun 1960 pengganti Volkstelling Ordonnantie. Waktu itu PBB meminta semua anggotanya untuk menghitung penduduknya. Jadi sebetulnya aktifitas pencacahan atau statistik sudah dimulai sejak lama.
Dari sisi kelembagaan, statistik sering berpindah-pindah “tuan”. Suatu saat berada di bawah Kementerian Perdagangan. Kesempatan lain di bawah Kementerian Dalam Negeri, terakhir sebelum di bawah Presiden, di Bappenas. Tentu sesuai regulasi yang berlaku, terakhir sesuai Undang Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik.
Dari berbagai catatan sudah banyak yang dilakukan insan statistik (baca Badan Pusat Statistik) bagi masyarakat, pada berbagai tingkatan pemerintahan. Namun, diakui masih banyak kalangan yang belum terlalu mengenal instansi ini, terutama tupoksinya. Mereka hanya mengenalnya dari kegiatan sensus yang berskala 10 tahunan.
Sensus Penduduk pada tahun berakhiran 0, Sensus Pertanian berakhiran 3, dan Sensus Ekonomi berakhiran 6. Ketiga jenis sensus tersebut merupakan core BPS yang punya tujuan dan cakupan berbeda. Yang pertama untuk menghitung jumlah penduduk, yang kedua akifitas sektor/kategori Pertanian, dan ketiga aktifitas ekonomi selain Pertanian.
Selain ketiga jenis sensus tersebut, banyak sekali kegiatan survei BPS. Seluruh sendi kehidupan bangsa dipotret melalui survey sesuai kebutuhan. Untuk kondisi sosial ekonomi penduduk, ada kegiatan tahunan, SUSENAS namanya. Hilirnya adalah angka kemiskinan, di samping kondisi kesejahteraan suatu kabupaten/provinsi/negara. Ada juga SAKERNAS, pemantau kondisi angkatan kerja, salah satu hilirnya adalah angka pengangguran, yang dipantau dua kali setahun. Untuk inflasi yang dirilis setiap bulan, ada yang namanya survey Harga Konsumen.
Tidak ketinggalan di bidang politik, ada yang namanya IDI, Indeks Demokrasi Indonesia. Hilirnya tentu kemajuan berdemokrasi di suatu wilayah secara berjenjang.
Terlalu banyak kegiatan yang dilakukan BPS di tahun 2017 ini. Kalau tidak salah sekitar 170-an kegiatan lapangan. Dimulai dari Sensus Ekonomi 2016-Lanjutan, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, dan seterusnya. Bahkan pada tahun 2018 nanti sudah menunggu hampir dua kali lipat kegiatan dari kegiatan tahun 2017.
Menjelang perayaan ini, BPS mengusung tema “Kerja Bersama Dengan Data”. Tema ini lahir dari fakta terkini, dimana masih banyak pihak yang bekerja tidak merujuk pada data. Tema ini mengajak semua pihak kembali kepada data sebagai sumber rujukan perencanaan dan evaluasi pembangunan. Kalau sudah bekerja menggunakan data, pasti banyak hal yang ditemukan. Berbeda tentu jika membangun tanpa data, pasti tidak ada yang ditemukan. Kelemahan kita maupun kelebihan kita.
Dalam berbagai diskusi, saat seminar maupun media elektronik, selalu saja ada pertanyaan berulang. Pertanyaan-pertanyaan tersebut “menggugat” independensi BPS. Apakah BPS pernah diintervensi? Terima kasih kepada teman-teman yang secara berulang mengajukan pertanyaan ini. Ada dua kekuatan di balik pertanyaan ini. Pertama akan melahirkan jawaban disertai bukti, bahwa BPS benar-benar bekerja tanpa intervensi. Hal ini terlihat dari seringnya pemerintah merasa “tidak enak” dengan angka BPS. Di sisi lain ada yang senang dengan angka tersebut, misalnya angka kemiskinan. Bagi pihak yang senang akan menuduh pemerintah tidak berhasil. Bahkan dalam ingatan saya di tahun 2010 “gugatan” terhadap angka kemiskinan sangat keras. Kedua akan melahirkan kewaspadaan dari insan BPS, bahwa setiap saat pekerjaan kita selalu dinilai dan diawasi.
Bukti lain, angka kebahagiaan dan kemiskinan. Akhir-akhir ini kedua angka tersebut selalu dipertentangkan. Miskin kok bahagia? Fenomena ini menunjukkan bahwa tidak ada angka yang bisa “diatur-atur” oleh insan statistik. Kemiskinan kita (Maluku-Red) peringkat 4 terbawah di Indonesia, mudah saja “membuat” kebahagiaan peringkat 4 atau mungkin 5 terbawah supaya koheren. Namun karena kode etik statistik tidak bisa dilakukan insan statistik.
Sebagai tambahan, secara substansi, miskin dan bahagia memiliki makna yang jauh panggang dari api. Miskin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sama dengan tidak berharta, serba kekurangan (berpenghasian rendah). Sedangkan bahagia sama dengan keadaan atau perasaan senang dan tenteram. Tanpa menguraikan indikator keduanya secara statistik, kita sudah bisa membedakan keduanya.
Di tahun perayaan hari Statistik yang ke-21, masih banyak yang harus dibenahi. Salah satu diantaranya adalah kualitas data statistik, yang sesuai visinya “Terpercaya”.
Hal ini sangat disadari oleh insan statistik, karena itu mereka bekerja sangat keras. Di negara tertentu, kegiatan statistik yang diajukan berbagai kalangan bisa ditolak oleh lembaga statistiknya. Penolakan ini didasarkan pada kualitas data yang dihasilkan. Mereka takut kalau-kalau kegiatan yang banyak akan mengurangi kualitas datanya.
Di Indonesia tentu berbeda. BPS kita tidak bisa menolak karena merupakan kebutuhan bangsa. Menyiasati itu semua, dibutuhkan energi besar dari berbagai sumberdaya yang tersedia.
Dari sisi realitas intervensi pembangunan, pemerintah menghadapi paling tidak “Lima Tepat” sebagai tantangan. Pertama Tepat Sasaran. Kalau boleh si orang, rumah tangga, RT, desa, kecamatan, dan seterusnya sebagai penerima intervensi benar-benar menerima. Kedua Tepat Jumlah, adalah menyasar kepada jumlah yang harus diterima, bisa jadi tidak sesuai dengan yang sudah ditentukan karena “dicubit”. Ketiga Tepat Waktu, adalah merujuk pada referensi waktu penyaluran yang telah ditentukan. Kalau terlambat bisa jadi penerima sudah “tewas” sebelum menerima “jatahnya”. Keempat Tepat Harga, yaitu sesuai dengan harga yang telah ditentukan. Kalau raskin Rp. 1.000 atau 1.600 per kilogram jangan dinaikkan. Kelima Tepat Administrasi, bahwa setiap kegiatan perlu “direkam” secara baik dalam bentuk administrasi untuk menjamin akuntabilitas kegiatan.
Kalau lima tantangan tersebut tidak bisa diatasi, adalah bijak kita tidak saling menyalahkan. Jauh lebih bijak mengambil peran sesuai mandatnya. Selamat datang hari statistik, selamat “KERJA BERSAMA DENGAN DATA”. Semoga… (Oleh: Charles Gigir Anidlah; Kepala Bagian Tata Usaha BPS Provinsi Maluku)