Ambon, Tribun-Maluku.com : Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Maluku kesulitan mengawasi pemasokan garam antar pulau dari sentra produksi Bima, Nusa Tenggara Barat yang dikeluhkan ibu rumah tangga di Kabupaten Seram Bagian Barat karena terlihat kotor.
“Garam termasuk komoditas perdagangan bebas dan pasokan antar pulau tidak diatur sebagaimana dahulu harus ada Surat Izin Perdagangan Antar Pulau atau SIPA dari Disperindag daerah sebagai sentra produksi,” kata Kadis Perindag Maluku Elvis Pattiselano, di Ambon, Senin (9/10).
Mekanisme pasar bebas itu, menurutnya, juga tidak memungkinkan Disperindag Seram Bagian Barat untuk mengawasi pemasokan garam antarpulau dengan mengandalkan armada laut disebut kapal layar tradisional.
Apalagi karakteristik Maluku sebanyak 92,4 persen wilayahnya seluas 705.645 km2 adalah laut dengan 1.340 pulau, sehingga memiliki pintu masuk maupun keluar.
“Kami tidak bisa berbuat banyak karena garam dipasok distributor itu tidak bisa diawasi kualitas maupun harganya,” ujar Elvis.
Dia mengimbau, para ibu rumah tangga bisa menyampaikan keluhan mereka ke Disperindag Seram Bagian Barat, sehingga dapat berkoordinasi dengan pihak berkompeten secara teknis untuk mengantisipasi pemasokan maupun peredaran garam kurang terjamin kualitasnya.
“Langkah antisipasi terhadap kemungkinan itu adalah garam curah kualitasnya kurang baik. Apalagi, diinformasikan harganya pada dua pekan terakhir melonjak dari Rp5.000 per kg menjadi Rp10.000 per kg,” ujar Elvis.
Salah seorang warga Piru, ibu kota Kabupaten Seram Bagian Barat Merry Sapasuru mengungkapkan, garam dari Bima terlihat hitam sehingga enggan dibeli untuk dikonsumsi.
“Kami mengimbau Disperindag Seram Bagian Barat menerjunkan tim pengawas ke pasar untuk melihat garam dengan kualitas kurang baik itu, sehingga keresahan para ibu rumah tangga tidak berlanjut,” katanya pula.
Para pedagang di Pasar Piru beralasan bahwa stok garam berkurang, sehingga menaikkan harga agar tidak merugi karena bahan baku untuk memasak makanan itu dipasok dari Bima, NTB.
“Produksi garam di Bima berdasarkan penjelasan para pedagang juga berkurang karena faktor cuaca, sehingga pasokan ke Piru mengandalkan transportasi laut tradisional juga terpengaruh,” ujar Merry.
Pihak Disperindag Pemkab Seram Bagian Barat diingatkan hendaknya menyikapi kekurangan stok maupun lonjakan harga garam tersebut.
“Jangan hanya memantau bahan pokok masyarakat yang lain, selanjutnya mengabaikan garam karena stok kebutuhan Seram Bagian Barat selama ini dipasok dari Bima maupun melalui Kota Ambon,” katanya.
Harga garam yang dipasok dari Ambon dijual para pedagang di Piru seharga Rp8.000/kg.