Ambon, Tribun-Maluku.com : Direktur Lucky Centre Foundation LCF), Agustinus Rahanwarat meminta Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) untuk tidak melibatkan pengurus Latupati MTB dalam Rapat Kerja (Raker) Latupati se Maluku, dijadwalkan di Langgur, Kabupaten Maluku Tenggara tanggal 23 Oktober 2017.
“Kami telah berulang kali mendesak pemerintah kabupaten MTB segera menghapus istilah Latupati dan tidak boleh digunakan dalam berbagai kegiatan ritual adat istiadat di Tanimbar, karena tidak sesuai dengan konsep budaya dan adat istiadat yang dijalankan oleh leluhur Tanimbar sejak dahulu kala,” katanya dalam siaran pers yang diterima, Selasa (10/10).
Agustinus menjelaskan, istilah Latupati diadopsi dari daerah lain dan bukan merupakan nama sebuah jabatan adat yang digunakan oleh para leluhur Tanimbar sejak dahulu kala.
Penggunaan sebutan Latupati itu baru dipertegas oleh pemerintah daerah MTB semasa kepemimpinan Bupati S.J.Oratmangun dan Wakilnya Lukas Uwuratuw, dimana sebutan Latupati digunakan oleh para pemangku adat Tanimbar dalam menjalankan fungsinya sebagai pemuka adat di suatu wilayah kecamatan.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi budaya Tanimbar, LCF Ltelah menggagas pembentukan Dewan Adat Tanimbar yang akta pendiriannya sudah dibuat beberapa waktu lalu, dimana konsep tersebut telah diajukan kepada Pemerintah Daerah MTB untuk segera dikaji dan digunakan.
“Konsep Dewan Adat Tanimbar itu pemimpinnya disebut Mangfaluruk, dimana penggunaan nama ini dikhususkan bagi mereka atau kumpulan orang yang memiliki kedudukan adat di setiap desa,” kata Agustinus.
“Dalam hal ini, mereka memiliki peran di dalam perahu adat dan itu tradisi yang tidak boleh diganti dari generasi ke generasi, atau lebih tepat jika dilestarikan sebagai sebuah warisan leluhur Tanimbar,” katanya.
Ia menegaskan pihaknya mendesak Pemkab MTB agar segera mengkaji hal itu supaya ada kejelasan tentang penamaan lembaga tersebut berdasarkan tradisi adat, dan komitmen menata kembali tatanan adat istiadat Tanimbar sehingga mencerminkan nilai-nilai budaya leluhur yang sesungguhnya.
Agustinus juga menilai istilah Raker Latupati tidak tepat, karena masyarakat Maluku memiliki kesamaan jati diri berbudaya namun juga memiliki perbedaan dalam menjalankan tradisi adat istiadat, di mana 11 kabupaten/kota di Maluku semuanya memiliki perbedaan secara teknis dalam menjalankan hukum adatnya masing-masing.
Dia mencontohkan ada perbedaan hukum adat Duan-Lolat di Kabupaten MTB dengan hukum adat Larvul-Ngabal di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual serta kabupaten/kota lain di Maluku.
Dia berharap Pemkab MTB segera melakukan kajian dengan mempertimbangkan usul yang diajukan, sehingga ke depan nanti sudah ada sebuah lembaga adat yang otonom dan berfungsi mengurus tata cara menjalankan hukum adat Duan Lolat, termasuk mengatur berbagai kebijakan adat dan budaya Tanimbar.
Hal ini juga sebagai cara untuk membatasi penggunaan istilah-istilah adat seperti Latupati yang diadopsi dari luar Tanimbar.
“Sudah saatnya daerah ini berbenah dan dimulai dari pembenahan tradisi budaya dan adat Tanimbar. Bayangkan saja kalau harta dalam perkawinan orang Tanimbar ditentukan besarannya oleh seorang Latupati, kan aneh,” kata Agustinus.
Ia menyatakan, Latupati secara etimologi tidak sesuai dengan kultur Tanimbar, terdengar sebagai kata asing namun telah merasuk pikiran dan sanubari orang Tanimbar karena sudah digunakan bertahun-tahun lamanya, apalagi jika dikuatkan oleh pemerintah.
“Dalam beberapa hari mendatang, LCF akan menyurati Pemkab MTB terkait pikiran itu, termasuk meminta Pemkab MTB untuk tidak turut serta dalam Raker Latupati. Jika utusan MTB mau terlibat, Pemkab harus melarang penggunaan sebutan Latupati tetapi Mangfaluruk. Atau segera nyatakan sikap keluar dari komunitas pengurus Latupati se-Maluku,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah MTB, Piterson Rangkoratat yang dikonfirmasi mengenai tuntutan LCF tersebut menyatakan Pemkab belum menerima surat dari yayasan tersebut.
“Pemerintah daerah belum menerima surat itu, kita akan kaji kalau sudah ada,” katanya. (an/tm)