AMBON – DPRD Provinsi Maluku periode 2019-2024 sudah resmi dilantik pada Senin, (16/9/2019. Masyarakat kini mulai menunggu kinerja para wakil rakyat yang sudah mempercayakan mereka menduduki “kursi empuk” di balai rakyat karang panjang ini. Dan salah satu harapan yang menjadi catatan kritis adalah soal catatan buruk periode 2014-2019 tentang konflik sesama wakil rakyat terkait dana aspirasi, atau yang kini disebut dana Pokok Pikiran (Pokir). Lantas apa sebenarnya Pokir itu? Kenapa kadang menjadi biang konflik sesawa wakil rakyat ?.
Istilah pokir bisa kita lihat karena tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010. Dimana Salah satu tugas Badan Anggaran DPRD yakni “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”.
Ketentuan ini harus dibaca sebagai berikut, penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini, kemudian disampaikan kepada kepala daerah. Karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah sebatas saran dan pendapat.
Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat atau suatu keharusan untuk dilaksanakan. Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada kepala daerah dan disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum APBD ditetapkan.
Namun disisi lain. pokir DPRD sesungguhnya adalah nomenklatur yang mirip dengan “penjaringan aspirasi masyarakat”. Sebagaimana pernah tercantum dalam PP 1/2001 dan PP 25/2004 yang pada pokoknya menyatakan anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Hanya kemudian PP 16/2010 menegaskan bahwa “aspirasi masyarakat” berbentuk pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah.
Beranjak dari sejumlah dasar hukum dan pendapat diatas, maka masyarakat Maluku sangat mengharapkan adanya “RASA MALU” pada rakyat Maluku, dimana jangan lagi terjadi konflik antara sesama wakil rakyat hanya karena persoalan dana pokir yang diberikan kepada rakyat. Kemudian, wakil rakyat diminta untuk transparansi dan tepat sasaran dalam penyaluran dan pemberian bantuan maupun penetapan pembangunan secara fisik. Jangan hanya realisasi dana-dana pokir dinikmati oleh keluarga, saudara, kelompok para wakil rakyat, karena sejatinya dana pokir tersebut adalah uang rakyat yang harus dinikmati oleh semua rakyat.
Dalam realitasnya, “pokir” diduga sering dijadikan menjadi semacam sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD. Istilah “pokir” bukan lagi menjadi rahasia umum dan sudah diketahui kalangan DPRD dan Pemerintah Daerah. Untuk itu, rakyat Maluku menunggu dan akan terus memantau kinerja para wakil rakyat kita, agar uang rakyat dapat dipergunakan dan direalisasikan sesuai dan tepat sasaran demi kesejahteraan Maluku yang sementara berjuang keluar daro zona kemiskinan. (AM03 & Berbagai Sumber)