AMBON-MALUKU. Bursa pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Maluku tahun 2019 semakin sengit.
Terdapat 31 bakal calon (Balon) Anggota DPD RI yang sementara berproses di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku untuk lolos sebagai calon anggota DPD RI.
Dari 31 balon anggota DPD RI ini, terdapat politisi dari berbagai parpol yang aktif saat ini sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku, Pengacara, aktivis, jurnalis maupun pengusaha. Mereka akan bersaing ketat nantinya melawan lima anggota DPD RI petahana, yakni Jhon Pieris, Nono Sampono, Anna Latuconsina, dan Novita Anakotta.
Dari jumlah tersebut, kalau dinyatakan lolos dalam seleksi KPU Maluku, maka jumlah tersebut tergolong banyak dibandingkan dengan pemilihan pada tahun 2014 lalu yang hanya di ikuti oleh 25 calon.
Dari data yang diterima media ini, 31 balon yang sementara berproses di KPU Maluku yakni, Ahmad Bilal Tuhulele, Mirati Dewaningsih, Zulkarnaen Awat Amir, Muh. Ahmad Sofyan Kelian, Iksan Tualeka, Jhon Pieris, Ongkie Anakoda, Evert Herman Kermite, Enggelina Pattiasina, Djunaidi Rupillu, Bitzael Silvester Temmar, Josua Yolwutu, Eddy Sambuaga, Nono Sampono, Hendrik Koedoeboen, Muh Sufhi Majid, Anna Latuconsina, Lutfy Sanaky, Elvis Carles Lahallo, Joseph Siktubun, Zidik Sangadji, Novita Anakotta, M Barkah Pattimahu, Herman Hattu, Jhon G Tupamahu, Musyafi Rumadan, Masbansa Sangadji, Fredy Latumahina, Muhamad Yadsir Kaisuku dan Antoni Hatane.
Terkait dengan peran dan kedudukan anggota DPD RI sebagai perwakilan daerah di pusat, DR Sherlok Holmes Lekipiouw SH.MH. menuliskan bahwa Cikal Bakal Pembentukan Pasca amandemen UUD 1945, fondasi ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat fundamental.
Salah satunya munculnya suatu lembaga baru dalam sistim perwakilan rakyat (parlamen) yakni Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Secara filosofis, kehadiran DPD sebagai salah satu lembaga perwakilan selain Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat dilepaskan dan merupakan tuntutan dari terselenggaranya sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengedepankan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Kehadiran Dewan Perwakilan Daearah (DPD) sebagai lembaga baru hasil perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konsekuensi dari perubahan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sekaligus sebagai upaya untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat yang selama ini berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini pun dengan sendirinya menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat bukan satu-satunya yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Rumusan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: ”Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”, Penegasan ini dimaksudkan bahwa kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diserahkan kepada badan/lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh Rakyat.
Dengan kata lain, pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak diserahkan kepada badan/lembaga mana pun, tetapi langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu.
Implementasi dari pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat di atas, maka dilakukan dalam bentuk pemilihan langsung Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hal ini dapat dilihat dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B yang memberikan penekanan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan pusat dan daerah dilaksanakan dengan sistem otonomi luas.
Untuk menjaga dan menindaklanjuti kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di pusat, maka diperlukan lembaga yang memiliki eksistensi dan kedudukan serta fungsi yang dapat menjembatani kepentingan daerah. Keberadaan DPD itu sendiri adalah merupakan salah satu upaya restrukturisasi kelembagaan MPR terkait dengan tuntutan otonomi daerah.
Implementasi Kedaulatan Rakyat Dan Upaya Mendorang Demokratisasi
Dalam kebanyakan literatur, secara sederhana demokrasi dapat difahami sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dengan demikian demokratisasi dapat diartikan sebagai suatu proses yang mengarahkan agar pemerintahan yang sedang berjalan secara sensitif dapat menangkap aspirasi, melibatkan partisipasi, dan mengutamakan kepentingan rakyat dari pada kepentingan penguasa. Rakyat ditempatkan sebagai domain utama dalam pengertian demokrasi karena pada dasarnya mereka (rakyat) adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara.
Secara lebih dalam, berbicara tentang demokrasi pada dasarnya tidak hanya mengenai teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang bagaimana cara terbaik membangun pemerintahan.
Dengan hadiranya DPD seyogyanya diharapkan akan mampu untuk menjembatani berbagai kebutuhan dan kepentingan politik daerah di pusat yakni dalam hal pelaksanaan otonomi daerah dengan memperhatikan asas otonomi dan tugas pembantuan, olehnya itu maka dengan dibentuknya DPD, maka paling tidak diharapkan pertama memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
Kedua, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daera.
Ketiga mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Berangkat dari prespektif itulah, maka terlihat bahwa keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara serta merupakan landasan filosofis yang memberikan kerangka yuridis pembentukan lembaga DPD
Sesuai dengan UUD 1945, bahwa kekuasaan Negara
Sesuai dengan UUD 1945, bahwa kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indoneia diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam kehidupan demokrasi, perlu dibentuk lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat guna menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, dan mampu memperjuangkan kepentingan rakyat dan daerah secara adil dan beradab.
Sesuai dengan perkembangan politik bangsa, maka dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain menghapus keanggotaan MPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sebagai kosekuensi amandemen tersebut, untuk, mewujudkan kedaulatan rakyat dibentuk lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggotanya terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu).
Butuh Kerendahan Hati Penguasa
Ditengah – tengah tuntutan serta krisis kepercayaan terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan wakil rakyar terhadap sistim pemerintahan dan pelaksanaan otonomi daerah, sah – sah saja jika kemudian desakan untuk membentuk perwakilan daerah dalam parlamen guna menjembatani kepentingan lokal daerah semakin kuat mengalir, sehingga berbagai kebijakan politik negara akan dapat memperhatikan berbagai aspirasi dan kepentingan daerah. Walaupun disadari pula bahwa pembentukan DPD belum sepenuhnya maksimal, namun hal ini harus pula dilihat sebagai bentuk kerendahan dari dari penguasa (pemerintah).
Secara teoritis, berdasarkan hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dengan kehadiran DPD telah mewujudkan sistem perwakilan dua kamar (bikameral) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Terhadap hal tersebut di atas, maka menimbulkan ketidakpastian secara yuridis berkaitan dengan sistem perwakilan dua kamar (bikameral). Padahal gagasan pembentukan DPD adalah merupakan upaya merestrukturisasi parlemen di Indonesia dengan sistem bikameral.
Hal ini pula yang menimbulkan pertanyaan secara berkaitan dengan kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai tindaklanjut dari Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Secara umum terlihat bahwa hasil perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kehadiran DPD telah mewujudkan sistem perwakilan dua kamar (bikameral) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Terhadap hal tersebut di atas, maka menimbulkan ketidakpastian secara yuridis berkaitan dengan sistem perwakilan dua kamar (bikameral).
Padahal gagasan pembentukan DPD sebagai upaya restrukturisasi parlemen di Indonesia dengan sistem bikameral. Hal ini pula yang menimbulkan pertanyaan secara berkaitan dengan kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini, DPD memiliki kedudukan yang tidak jelas. Apalagi pengaturan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berkaitan dengan DPD tidak diatur secara komprehensif dan sangat sumir sebagaimana tertuang dalam Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 22F ayat (2) ataupun berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPD sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun, selain hanya memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran kepada DPR sebagai lembaga yang memutuskan, baik dalam bidang legislatif maupun pengawasan.
Kewenangan DPD berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang sebatas memberikan pertimbangan pun menampakkan kelemahan fungsi DPD karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan daerah dan sebagai lembaga bargainning terhadap kemungkinan pertimbangan DPD yang tidak dilanjuti oleh DPR.
Apalagi rancangan undang-undang yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh DPD dengan menggunakan hak veto, sebagaimana dipraktekkan dalam sistem perwakilan bikameral.
Hal inilah yang mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam sistem ketatanegaraan saat ini yang membuat kedudukan DPD sangat lemah bahkan hanya sebagai lembaga yang hanya memberikan pertimbangan kepada DPR. Sementara itu, tidak ada cheks and balance system, dalam lembaga perwakilan rakyat. DPR memiliki kekuasaan legislatif yang penuh, sementara DPD tidak memiliki hak yang penuh untuk mengusulkan bahkan dalam mengajukan RUU.
Dalam prespektif itulah DPD hanyalah sebagai pelengkap derita dan aksessoris demokrasi dalam konteks lembaga legislatif. Kepincangan ini merupakan konstruksi politik yang sudah tertera secara yuridis dalam konstitusi kita. Jadi bagaimanakah demokrasi dalam badan legislatif akan dilaksanakan tanapa cheks and balance ? demokrasi yang pincang merupakan kosekuensi dari seting yang demikian hal ini menunjukan political will yang setengah hati dalam pembangunan demokrasi di Indonesia.
Hal ini, oleh Ginandjar kartasasmita untuk membangun peran DPD yang seyogyanya itu, haruslah mengamandemen Pasal 22D UUD 1945 yakni dalam hal penegasan mengenai sistim dua kamar (bikameral) dan parlamen guna memperjelas posisi daerah dalam struktur ketatanegaraan.
Dalam hal ini adalah kritik keras atas deviasi struktur bikameral kita yang dianggap lemah (weak bicameralism). (AM-01)
Prev Post