Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan, Barends Tekankan Hak Politik Perempuan
(Reporter : Ian Sipahelut)
AMBON-MALUKU. Anggota komisis VII DPR RI asal Maluku Mercy Barends melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kegiatan yang berlangsung di pasific hotel, kemarin dibawah sorotan “Demokrasi Membangun Peradaban dan Membawa Kesejahteraan Bagi Rakyat”, dihadiri berbagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) di kota Ambon.
Kepada wartawan usai sosilaisasi, Barends mengatakan tema yang diangkat sesuai situasi tahun politik yang sementara berlangsung.
Dirinya merasa penting untuk memberikan pendidikan politik kepada seluruh lapisan masyarakat. Apalagi adik-adik OKP merupakan intelektual muda, mempunyai tanggungjawab untuk ikut mencerdaskan elemen masyarakat yang lain.
“Bagaimana kita mencoba merekonstruksi seluruh proses demokrasi yang selama ini berjalan di Indonesia terutama di Maluku, kira kira apa yang harus diperbaiki. Tadi banyak sekali gagasan baru untuk membuat proses demokrasi menjadi lebih baik dan lebih berkualitas,”ujarnya.
Demokrasi yang berkualitas, kata Barends dilihat dari prinsip-prinsip berdemokrasi itu sendiri. Dimana harus ada prinsip-prinsip dasar yang menjadi etika dasar dalam menjalankan prinsip berdemokrasi, dimana dalam kompetisi harus di-ikuti dengan tanggungjawab.
Kemudian, nilai pertanggungjawaban publik, yaitu membangun demokrasi yang transparansi bagi masyarakat, yang diikuti dengan akuntabilitasnya .
“Jadi tidak bisa ada lagi demokjrasi yang tertutup, demokrasi yang sangat ekslusif. Karena masyarakat kita adalah masyarakat yang plural, jadi demokrasinya harus berbasis demokrasi masyarakat yang plural, terbuka dan bisa melibatkan seluruh elemen masyarakat,”ucapnya.
Dalam diskusi yang berlangsung hampir empat jam ini, Barends juga menekankan terkait hak politik perempuan.
Dijelaskan, peran perempuan dalam berbagai level termasuk adik-adik OKP, terutama dalam membangun demokrasi menjadi salah satu elemen yang sangat penting.
Lebih lanjut dikatakan, dalam menginteprestasi pemaknaan 30 persen perempuan tidak dalam pendekatan yang sempit, hanya dalam mengisi kouta 30 persen itu kan tidak benar. Tetapi bagaimana kouta yang ada itu bisa melahirkan pemimpin perempuan yang berkualitas dan bisa memberikan kontroibnusi suiara, pemikiran, gagasan dan seluruh jiwa raga bagi sebuah perubahan besar bagi daerah, maupun setiap keputusan politik maupun kebijakan yang dikeluarkan.
“Itu yang tadi saya dorong, bahwa di dalam proses berdemokrasi, penting yang namanya full representasi. Kalau tidak ada representasi yang berkeadilan maka yang terjadi adalah monopoli mayoritas, yang terjadi hanyalah sekeloimpok kekuatan besar yang mengelola demokrasi, kelompok oligarki yang merekonstruksi dan mengatus negara,”pungkasnya.
Untuk itu, diperlukan keterlibatan seluruh elemen masyarakat harus ikut menggambil bagian, melintasi batas suku agama, ras, termasuk gender.(AM-10)