Ekonomi Relatif Sepi, Pemerintah Diminta Tak Naikkan Cukai Rokok
BERITA MALUKU. Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jawa Timur, Sulami Bahar mengatakan tingginya cukai rokok akan mematikan Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam negeri. Selain itu, para pengusaha juga akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menormalisasi perusahaan agar bisa tetap berproduksi.
Menurut Sulami, kenaikan tarif cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun 2018, yaitu rata-rata 8,9% dari tahun 2017, akan semakin memberatkan industri di tengah tren perlambatan ekonomi. Belum lagi, simplifikasi layer, dari 12 layer menjadi 9 layer, berdasarkan roadmap BKF/Bea Cukai, justru akan membuat peredaran rokok ilegal semakin marak.
“Kinerja produksi rokok mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir, akibat terjadinya perpindahan pola belanja dan turunnya tingkat daya beli masyarakat,” ujar Sulami, dalam Keterangan Resmi Gapero kepada Berita Maluku Online, Kamis (5/10/2017).
Ia menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, terutama mulai 2013, produksi turun kurang lebih satu persen dari rata-rata produksi rokok 340 milyar batang.
Penurunan produksi itu, kata Sulami, merupakan dampak dari berbagai tantangan yang dihadapi industri rokok, mulai naiknya target penerimaan cukai, makin pendeknya waktu pembayaran cukai (PMK 20/2015), kurang memadainya ruang konsumsi rokok, relatif stagnannya pertumbuhan ekonomi. Juga, maraknya peredaran rokok ilegal dan munculnya berbagai peraturan yang membebani daya tahan industri.
Di sisi lain, dalih simplifikasi layer yang disampaikan pemerintah, dengan argumentasi terlalu rumitnya pengaturan administrasi pungutan cukai, sulitnya kontrol rokok illegal, hingga alasan kurang optimumnya upaya untuk meningkatkan penerimaan negara, dinilai Gapero tidak tepat.
Menurut Sulami, jumlah layer saat ini (12) sebetulnya merupakan penurunan cukup drastis dari sebelumnya (19) pada tahun 2010.
Dengan berbagai varian jenis produk rokok yang beredar di Indonesia, yakni ada tiga jenis: Rokok putih (SPM), rokok kretek filter (SKM), dan rokok kretek tangan (SKT), pembagian layer sebanyak 12 bukanlah jumlah yang banyak.
“Apalagi, jika mempertimbangkan varian level kemampuan perusahaan di Indonesia. Sebagai perbandingan, Thailand dan Australia memberlakukan 12 dan 19 layer dalam pembagian layer cukai minuman beralkohol,” ucap Sulami.
Sulami menjelaskan, dari hasil penelitian Survei Rokok Ilegal Universitas Gajah Mada 2016, makin berkurang jumlah layer, maka peredaran rokok ilegal semakin tinggi. Pemerintah akhirnya yang rugi sendiri.
Berdasarkan data-data itu, rencana maka pengurangan layer di tengah kinerja industri yang mengalami penurunan akan menjerembabkan industri lebih dalam lagi.
Maka , Gapero meminta pemerintah menunda rencana simplifikasi layer.
Sementara untuk kebijakan cukai tahun depan, industri usul tidak dilakukan kenaikan tarif, mengingat beban-beban biaya di luar tarif yang ada saat ini sudah cukup besar. Hal ini untuk memudahkan upaya pemulihan industri.
Diperkirakan, volume produksi tahun 2018 sama dengan perkiraan volume produksi tahun 2017. Harapan lain, sistem tarif cukai tetap spesifik multi-layer. Jumlah layer masih tetap seperti yang berlaku saat ini (status quo).
“Harga Jual Eceren (HJE) diharapkan dapat diturunkan untuk mengatasi dua sasaran, yakni mengembalikan daya beli masyarakat, dan menghambat maraknya laju rokok illegal, dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sesuai UU Cukai No. 39 Tahun 2007,” tegas Sulami.
Gapero juga berharap, pemerintah tetap memberikan dukungan kepada industri kretek nasional, baik produk karya tangan/SKT maupun mesin/SKM, sebagaimana secara konsisten telah ditunjukkan oleh pemerintah selama ini dalam upaya pemberdayaan pertembakauan nasional.
“Terkait pemberantasan rokok illegal, perlu diberlakukan kesamaan aturan dalam penempelan pita cukai pada produk rokok yang beredar di wilayah Pulau Batam dan kawasan perdagangan bebas lainnya dengan aturan yang berlaku di wilayah lain di Indonesia,” ujar Sulami.
Selain berharap ada kelonggaran kebijakan cukai, Gapero menyarankan agar dilakukan. ektensifikasi Barang Kena Cukai (BKC) selain Cukai Hasil Tembakau (CHT/Rokok).
Pasalnya, di Indonesia baru tiga barang yang kena cukai yakni; Tembakau/Rokok; Ethil alcohol (EA), Minuman Mengandung Ethil Alkohol (MMEA).
“Sementara BKC di Malaysia berjumlah 13 BKC, di India ada 28 BKC, kemudian Singapura berjumlah 10 BKC, Thailand berjumlah 24BKC. Negara-negara tersebut sudah memasukkan BKC meliputi minuman karbonansi, plastik, BBM, gula, teh, barang textile, semen, sabun, dan lain-lain,” pungkas Sulami.